Thursday, July 1, 2010

There's a Girl Here and She's Almost You

Aditya Darun Suryana
---

Selektif, kata orang aku ini selektif. Tukang pilih, banyak mau, dan gak pernah puas. Pria mana yang tidak seperti itu? Mungkin ada beberapa, lagipula aku tidak pernah punya waktu untuk memilih, yang mau dipilih saja tidak ada. Semacam requirement yang bakal ada, sementara yang apply tidak ada. Sudah agak lama sejak aku putus, aku sudah tidak segila dulu.

Hari sekolah tidak akan bisa tenang, tidak selagi masih ada Dika dan Rama. Kedua temanku yang tololnya bisa masuk peringkat nasional ini tidak pernah ada habisnya membuat cerita. Tapi hari ini mereka tidak bawa masalah, terutama Dika. Dia membawa matahari setelah hujan, ya layaknya seperti setelah sakit sakit di dokter gigi, dia membawa permen untukku. Entah Dika bakal memperbaiki perasaanku atau merusak sesuatu yang ada di diriku.

Mungkin dia gak membawa apa apa untukku.... Ekspektasiku, selalu berlebihan.

Hari ini, bel istirahat. Aku mondar mandir bawa bakso seperti orang bodoh dan tiba tiba ada wanita yang menyambar berkata "sini duduk sini" seingatku sih begitu. Rama menyusul setelah aku duduk di depan wanita itu. Tidak di depan persis sih, pokoknya depan depanan dengan jarak yang cukup jauh.

"Dit, lo kenal? Itu siapa? Wedeh...." Rama seperti biasa berceramah tentang imej yang dia buat sendiri di pikirannya dengan berbisik ke diriku.

Belum selesai aku mendengar, Dika datang dan berceloteh sok laku untuk minta dijagain entah gebetan atau pacarnya yang duduk di depan kita berdua. Aku masih menebak siapa yang menjadi wanita kesukaan Dika. Yang kiri terlihat terlalu baik untuk bersama si dungu itu, mungkin yang kanan kali ya dengan muka acuhnya meskipun ada kakak kelas di depannya.

Terus dan terus aku melihat lihat lihat lihat.... Dan aku membaca raut wajahnya....

Yang kiri itu manis, yang kanan itu lucu. Nyammm sambil berkhayal untuk bisa lebih dekat lagi dengan salah satu dari mereka aku menikmati bakso kantin yang rasanya tidak pernah berubah. Tunggu sebentar, kecapnya kok gak dikasih deh?

"Ram, mintain kecap dong ke sebelah tuh..." aku berbisik ke Rama.

Setelah Rama berbicara dengan aksen pria sok ganteng yang menjijikan ke dua wanita tersebut, keduanya diam sejenak. Si acuh yang lucu ternyata yang memberikan kecap ke Rama, lucunyaa.... Tapi entah kenapa wanita yang satu lagi seperti sedang sakit flu atau mau ke toilet, wajahnya gemetar tapi masih mencoba mencuri curi pandangan yang di depannya. Walaupun manis dan lucu salah satu dari mereka sudah ditake Dika pula, brengsek.

Aku cepat cepat menyelesaikan makananku dan meninggalkan meja tersebut. Perasaanku aneh, tapi setidaknya aku sudah merasa lebih baik akhir akhir ini. Senangnya hari ini bisa dilihat adek kelas uhui uhui, tinggal nanya Dika nih pas ketemu lagi. Dimana ya dia?

Ipodnya si Tasya mana ya, tadi bukannya di kantongku? Mau denger Elvis Costello yang Almost Blue nih, agak gerimis di luar, pas. Aduh udah mau ujian praktek aja deh minggu ini. Masuk kelas duluan deh hari ini. Nah itu dia Dika!

Sunday, June 27, 2010

What Comes Around, Sticks Around

Arundati Soeriaatmadja
--- 

Aku tak perlu menoleh ke kanan untuk mengetahui siapa yang sedang berjalan ke arahku. Cantika yang duduk di depanku menunjukan gelagat khawatir. Dika berjalan semakin mendekat. 

Think of something, Ruri. Focus. 

Oh. 

"Duduk di sini saja. Nggak ada yang nempatin, kok" kataku kepada dua orang laki-laki yang baru saja memesan bakso. Mereka menangguk lalu menempati kursi disebelahku dan sebelah Cantika. Aku tersenyum menang. Dika menyapaku, aku hanya tersenyum. Aku menang. Dika tak akan mengganggu waktu makan siangku. Dia bahkan tidak akan berada dimanapun dekatku.

"Dit, Ram, titip cewek gue ya... Jangan digodain lho."

Dua laki-laki itu tersenyum mengiyakan. Dika berjalan menjauh lalu menghilang. Ah, kenapa aku bisa tidak tahu bahwa dua laki-laki ini adalah senior? Adalah teman-teman Dika? CK! Sekarang suasana menjadi kaku dan aku bingung harus berkata apa.

"Sori, bisa tolong ambilin kecap?", kata senior disebelahku. Aku mengoper botol kecap tanpa komentar.

Aku baru menyadari, Cantika yang biasanya cerewet setengah mati dari tadi tidak berkata apa-apa. Tadi gelagatnya memang khawatir, tapi kan sekarang Dika sudah tidak ada - dan seperti yang kujanjikan, tidak ada tragedi sinetron yang terjadi tadi. Hmm.

Oh iya, gelisah! Cantika itu gelisah sekarang. Bukan khawatir. Ada apa sih? 

"Sst, kenapa diem aja sih dari tadi? Sakit lo?". Tapi cantika hanya menggeleng sambil tersenyum. Sekarang pipinya merona merah. Aku rasa anak ini benar-benar sakit. Terlalu pedas kah, baksonya?

"Iiiiih, kenapa sih? Aneh banget tau nggak!" aku mencari jawaban.

"Apaan sih..."

"Lo tuh yang apaan, sumringah nggak jelas dari tadi."

Senior disampingku terkikik. Mungkin menurutnya ada yang lucu.

"Eh, Tik! Kok malah diem?"

Bel berbunyi. Cantika selamat. Tapi pulang nanti dia pokoknya harus menjelaskan padaku.  

Monday, May 17, 2010

Mulai Waras

Aditya Darun Suryana
---

"Tadi aku dikenalin dit, kan temen aku punya pacar, si Andine itu loh. Nah pacarnya itu lagi bawa temennya gitu dit, ngerti nggak? Orangnya kocak dit, inget kamu pas pertama kali ketemu tau gak?"

Andai aku tidak mengerti ucapanmu, aku ingin pura pura bodoh di depanmu. Tapi aku sadar Nadia hanya akan mengulang perkataannya berkali kali sampai aku mengerti bila aku melakukan hal itu. Aku berhenti sejenak, meregangkan otot rahangku, menggaruk garuk kepalaku, dan melakukan pemanasan dengan jari lentikku ini. Ketikanku tidak boleh terlihat kaku di matanya kali ini. Aku harus jadi pria baik.

"Oh ya? Hahaha mirip aku? Pasti ganteng dong HA HA. Terus ngobrol apa aja kalian?"

Tombol enter sudah kutekan. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi, sudah hampir 3 menit aku berhenti tidak menjawab chatbox dari Nadia.

"Kamu? Nggak...."

Untunglah pembicaraan aku dan Nadia tidak terlalu buruk. Meskipun ada sesuatu yang perih, mengganjal, dan wajahku memasang senyum asam. Nadia adalah orang baik, dan aku harus tetap menjadi yang baik untuknya. Meskipun aku bukan siapa siapa lagi, dan tidak akan pernah jadi siapa siapa lagi. Kalau Nadia sudah menemukan calon calon pria untuknya. Kapan giliranku ya?

Sambil berbicara dengan Nadia lewat messenger, aku berbicara dengan teman teman wanita yang lain saja mungkin ya? Mungkin dengan itu akan membuat perasaanku lebih baik. Dan sementara itu Nadia terus menceritakan tentang pria yang baru dikenalnya barusan. Dan aku hanya menjadi kantung untuk menyimpan segala perasaan yang dipendam oleh Nadia. Harusnya aku tidak membalas pembicaraannya malam ini. Tapi apa boleh buat lah.

Hari sudah larut malam. Rencanaku untuk berbicara dengan wanita lain siapapun itu gagal total. Di situs pertemanan pun statusku sudah berganti jadi pria single. Biasanya jam malam begini aku sudah mengantuk. Tapi entah kenapa malam ini rasanya akan lebih panjang daripada yang kukira. Ayahku sedang di luar kota, sementara Ibuku tidak bisa tinggal diam kalau Ayah ada acara pergi pergi ke luar kota. Kakakku harus menginap di rumah temannya. Dan aku sendirian di sini.

Astaga betapa bosannya malam ini. Buku bacaanku pun sudah habis kubaca. Komik komikku sudah sliweran entah kemana. Aku jadi malas untuk melakukan apapun. Ada suara aneh, oh ternyata handphoneku. Jam segini? Jam 1 malem begini? Waw, siapa ya kira kira?

Nadia <3 calling

Bagus, sekarang mau apa lagi dia? Dan ditambah setiap ada telpon dari dia akan tampak foto aku dan Nadia. Aduh apa maumu sih?

"Dit? Halo dit...."

Seperti biasa. Mungkin dia rindu saat saat berbicara tengah malam denganku. Aku kira begitu. Hingga akhirnya dia mulai menangis entah kenapa. Dia meminta maaf karena bertingkah seperti orang yang tidak mengerti perasaanku. Aku terheran heran sendiri. Tapi mungkin dia juga seperti aku, berat untuk menjalani ini. Membingungkan bukan? Ya, Nadia adalah wanita yang seperti itu, tidak pernah bertindak tepat di waktu yang tepat di saat yang bersamaan. Pasti ada aja yang salah dengan wanita itu. Mengapa dia harus begitu sensitif di jam 1 malam? Pagi malahan.

Biasanya aku dan Nadia berbicara sekitar 1 jam, jika ada waktu yang lebih itupun hanya setengah jam. Dia begitu luwes dengan pembicaraannya, seperti wanita yang mencalonkan dirinya untuk jadi presiden. Tapi kali ini dia hanya bicara 20 menit. Dan lagi lagi, hanya aku yang menjadi pendengar. Aku hanya bisa berkata hah, maksud kamu, oh.

Sampai akhirnya.

"Dit, aku minta maaf ya buat semuanya, kayaknya aku harus cabut deh dari hidup kamu, pasti ada waktunya kita ngobrol lagi.... Maaf tadi aku bego banget ya"

Aku belum sempat berbicara apa apa, dan sudah diputus dari sana. Aku heran sekali. Hanya selang 1 jam dari pembicaraan di komputer, dia bisa berubah 180 derajat. Aku rasa dia biasa saja sebenarnya dengan keadaan ini, malah justru aku yang berbelit belit dengan perasaanku. Hanya saja, wanita kan lebih emosional. Sedangkan aku, pria, yang biasa berpikir dengan logika. Tapi logikaku saja bisa rusak gara gara putus ini. Mmm... mungkin itu alasanku mengapa aku merasa lebih patah hati darinya.

Untungnya besok hari Sabtu, sudah libur, dan tidak ada tugas. Mungkin besok akan jadi hari yang paling waras dalam hidupku. Besok aku akan mulai mengatur semuanya dari awal. Oh iya, hampir lupa, aku akan potong rambut botak nampaknya. Yaampun sudah hampir jam setengah 2 pagi, dan aku menjerit kebosanan tidak bisa tidur.

Tolong kasur, selimut, dan bantal. Tenggelamkan aku di dalam alam mimpimu. Dan Tuhan, tolong biarkan Nadia berhenti menangis, menangis tidak cocok untuknya. Amin.

Saturday, May 15, 2010

Hungover

Arundati Soeriaatmadja
--- 

"Too much wine can kill you," 
"No it can't!"
"But it sure can kill your family's rep." 

Mari kuperkenalkan anggota keluargaku yang lain. Yang sekarang sedang duduk di tepi tempat tidur, adalah kakak tertuaku. Namanya Galang. Mas Galang berparas seperti Bapak, sementara aku dan Mbak Ayu serupa betul dengan Ibu. Juga seperti Bapak, Mas Galang mempunyai aura intimidatif yang sangat mengganggu. Terlebih lagi ketika aku telah melakukan hal-hal yang tidak disukainya. Seperti semalam.

Jika aku belum sempat menyinggungnya, sekarang aku tidak berada di kamarku. Bahkan tidak di rumah kedua orang tuaku. Aku, dipaksa menginap di rumah Mas Galang. Ah, aku sangat membutuhkan Mbak Ayu dalam situasi seperti ini. Karena tidak seperti Mas Galang, Mbak Ayu akan menertawakan kecenderungan burukku terhadap minuman keras. Mbak Ayu, akan sangat senang menampungku di kamarnya, dan berbohong kepada orang tuaku--dan Mas Galang--agar mereka tidak mengetahui keadaan sebenarnya. Sayang, kakak perempuanku itu sudah tidak tahan lagi dengan sikap otoriter Bapak sehingga minggat ke London sejak tahun lalu.

Aku kesulitan bernafas.

Aku bukan Mbak Ayu, yang berani terang-terangan menentang siapapun yang berseberangan dengannya. Aku, terlebih lagi dalam kondisi seperti ini, cenderung akan menurut saja. Diam, lebih tepatnya. Aku tidak ingin menentang Mas Galang, atau terpaksa berhadapan dengan Bapak hanya karena urusan sepele seperti ini. Meskipun menurut kakakku itu, urusan semalam bukanlah urusan sepele. Aku sekilas dapat mengerti kekhawatirannya. Selain memang karena menyayangiku, dia tahu hidupku akan sangat sulit jika sampai memancing amarah Bapak. 

Aku jadi merasa bersalah.

Tapi, selain diriku sendiri, jelas ada Dika yang pantas disalahkan. Jika saja dia tidak merangkul pinggangku semalam suntuk, berjalan kemanapun kakiku melangkah, dan menyapa hampir semua tamu undangan seakan-akan dia sudah menjadi bagian dari keluargaku... Aku tidak akan cukup depresi untuk menegak bahkan segelas wine pun. Dan jika saja, oh Tuhan, jika saja ada Mbak Ayu di sini, Dika pasti sudah ditendang keluar atau setidaknya dibuat jera. Dika pasti sudah dibuat enggan untuk mendekatiku barang selangkah saja.

Jika saja, kata yang indah bukan?

Jika saja. Mas Galang menunggu jawabanku. Tunggu, apa pertanyaannya? Aku benci kesunyian semacam ini. Kesunyian yang mencekat kerongkonganku. Apakah dia cukup paham bahwa aku tidak akan melakukannya jika aku tidak terpaksa? Apa perlu kuperjelas lagi? Tidak mampukah dia melihat dengan jelas bahwa aku butuh seorang kakak laki-laki yang bisa menyingkirkan mantan pacar adik perempuannya yang begitu mengganggu? Atau memang semua pria sama saja, tidak bisa mengerti apa yang tidak dikatakan dengan lantang?

"Lo maunya bagaimana?", akhirnya dia memecah kesunyian. Aku masih terdiam. Terlalu banyak yang kuinginkan sampai aku bingung harus bagaimana memulainya. "Intinya, gue capek kalau urusan gue dengan Dika selalu dikutcampuri Ibu--atau siapapun. Gue punya hak untuk memilih siapa yang tidak pantas untuk mendampingi gue. Peduli setan apakah keluarganya adalah kerabat atau bukan. Gue, ingin keluarga gue setidaknya menjauhkan gue dari hal yang menggangu ketenangan gue... Dan bukan sebaliknya".

Wah, aku salut dengan diriku sendiri! Baru kali ini aku bisa benar-benar mengungkapkan apa yang aku inginkan. Mas Galang tersenyum. Jangan salah, senyumannya bisa berarti banyak hal. Mas Galang--lagi-lagi seperti Bapak--bukanlah orang yang mudah ditebak.

"Harusnya lo bilang sejak lama. Sekarang mandi, 'cause you really smell like shit. Abis itu gue anter lo pulang..."

Aku tersenyum lebar. Ah, dasar bodoh... Harusnya aku bilang sejak lama? Harusnya dia bisa menyadarinya sejak lama! Tapi aku tak peduli lagi, yang penting aku sudah menemukan jalan keluarnya.

"Thanks. Eh ya, memang harus ya, gue pulang sekarang? Nanti sore aja deh Mas, gimana?"

Aku mengedip dengan penuh harap.

"Don't push your luck. Lo pikir gue nggak banyak kerjaan apa?"

Ah, terserahlah. Dasar aneh. Ini kan hari Minggu, kerjaan apa yang dia punya selain mengencani pacarnya?  

Friday, May 14, 2010

Mengurangi Porsi Berpikir

Aditya Darun Suryana
---

Rasanya aku telah menjadi orang yang berantakan. Semuanya tidak berada di porsi yang sebenarnya. Aku mengurangi porsi tidurku, aku mengurangi porsi makanku, tapi tahu apa yang bertambah? Porsi berpikirku. Kian hari pikiranku makin liar, semakin ingin terus menggali lebih dalam apa kesalahanku sehingga membuat semuanya menjadi begini. Tapi toh mencoba optimis berharap dia kembali seperti dulu bakal malah mengoyak-ngoyak perasaanku nantinya, lebih baik menganggap akhir sebagai awal bukan?

Daripada bergalau ria, bikin kepala semakin penat dan beruap, aku memutuskan untuk melihat wanita mana saja yang berada dalam handphone-ku, aku jadi tertawa kecil begini sih, aneh ah. Rada menyesal sih mengapa dulu aku begitu setia, rasanya aku menyesal menjadi orang yang baik dan setia untuknya kalau begini caranya. Sehari, seminggu, sebulan, mungkin aku akan terbiasa dengan rasa ini, melakukan senandung lagu kesukaan kita saat sendiri. Tapi terbiasa, berbeda dengan lupa bukan? Astaga, mengapa aku terus menanyakan kemana akhir dari semua ini? Aku kan seharusnya melihat lihat oportunitas dari wanita-wanita yang ada, haha.

Ah, aku malah menjadi bersalah karena berpikir yang tidak-tidak. Aku lebih baik mengistirahatkan hatiku, daripada bertaruh dengan wanita lain dengan hatiku sebagai taruhannya, bisa makin remuk hatiku nanti. Aku berpikir sebanyak ini, menderita sebanyak ini, apakah Nadia merasakan hal yang sama ya? Atau mungkin dia sudah bersama calon calon pendamping dirinya yang baru? Salah, jika orang bilang pria lebih mudah melupakan daripada wanita. Rasanya justru lebih sulit pria....

Nadia tergolong wanita yang manis, wajahnya kalau lagi tersenyum seperti marmut, dan aku tidak mau lupa wajahnya. Aku begitu sering memperhatikan tingkah lakunya, bahkan dari sejak sebelum kita menjadi sesuatu yang lebih dari teman. Dari selera buku bahasa inggris yang tidak pernah umum, selera musik yang bagus, dan gaya bicaranya yang menunjukkan bahwa dia adalah gadis yang memiliki otak lebih besar daripada gadis lainnya. Dia begitu kokoh tanpa harus bersandar kepada siapapun.

Entah kapan, atau di mana pertama aku bertemu dengannya. Tapi yang pasti, aku dulu minder sekali saat bicara dengannya. Dia begitu percaya diri, sedangkan aku seperti anak kucing yang malu-malu. Padahal wajahku tidak tergolong tampan sama sekali, dari skala 1 sampai 10 saja, aku masih takut untuk menyebutkan nilai 5. Dan entah apa yang dilihat dari aku olehnya, sampai enam bulan kemarin dia menjadi sosok yang begitu bergantung padaku. Sebelum akhirnya dia pergi....

Karena Nadia juga, aku berganti selera wanita. Kalau dulu yang pertama kali aku lihat dari wanita adalah wajahnya. Sekarang aku lebih melihat karakternya, atau hobinya. Karena ternyata menjadi pasangan seseorang yang kuat karakternya, lebih menyenangkan ketimbang menjadi pasangan seorang wanita secantik bidadari. Dan tahukah apa yang sangat buat aku tergila-gila dengannya? Dia suka karaoke, sama halnya seperti aku.

Aku terjebak dengan perasaanku sendiri sekarang. Aku menyesal tidak membalas pesan singkatnya kemarin. Sekarang aku sudah terlanjur berada di rentang waktu yang aneh untuk membalas pesannya. Aku menyalakan komputer sajalah, siapa tahu dia lagi online. Oke mari bermain messenger ria sekarang, siapa tahu ada wanita yang beruntung mendapatkanku, lagi-lagi aku tertawa kecil nih, jadi merasa aneh tertawa sendiri.

Feeling-ku tepat, Nadia lagi online. Tapi dia lagi busy sih. Ingin menyapa sekali sih rasanya. Tapi apaboleh buat, aku sudah terlanjur bertingkah sombong dengan mengacuhkan SMSnya. Eh tunggu, personal message-nya berganti tiba-tiba, "such a cutie", untuk siapa ya? Yang pasti bukan aku. Ah makin galau rasanya malam ini.

"Dit, bagus ya smsku ga dibales..."

Rasanya malam ini bakal jadi panjang. Chatbox dari Nadia mencuri seluruh perhatianku, dan aku menjadi lupa dengan tujuan awalku. Aku beralasan layaknya tukang bohong yang profesional. Berkata pulsaku habis dan lupa ngisi berhari-hari. Sehabis itu aku dan Nadia terus membicarakan hari-hari kami seperti biasa, seperti layaknya dulu dia suka sekali bercerita tentang album baru suatu band musik yang dia suka. Tapi kali ini arah pembicaraannya jadi semakin dingin. Dia mulai bercerita tentang seorang lelaki yang baru dia kenal.

Oh, Nadia, aku belum siap mendengarkan ceritamu tentang lelaki itu....

Wednesday, May 12, 2010

Hujan

Arundati Soeriaatmadja
---

Siapa bilang hujan itu romantis? Dilamar ditengah hujan mungkin romantis, tapi terpaksa harus menumpang mobil mantan pacar? Jelas tidak.

Gara-gara hujan, sopirku jadi terjebak macet yang mengakibatkan aku harus menunggu selama lebih dari dua jam, sampai akhirnya mengalah dengan nasib dan menerima tawaran mantanku itu. Ya, mantanku yang itu. Yang superidiot dan sudah putus denganku sebanyak dua kali pada bulan ini. Sekarang aku terpaksa harus mendengarkan Norah Jones melantunkan lagu Sunrise berkali-kali. Harusnya aku tidak keberatan, itu adalah salah satu lagu kesukaanku. Tapi aku jadi kesal karena sepertinya mantanku memanfaatkan situasi ini untuk mengingatkanku pada masa-masa dulu. Dulu, ketika masih ada kita.

Tidak ada yang salah dengan ingatanku. Aku pengingat yang handal. Masalahnya, aku benci diingatkan akan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi lagi. Aku yang akan menjamin, kita tidak akan pernah terjadi lagi. Tuhan, tolong aku. Makhluk idiot ini memaksaku untuk menendangnya keluar dari mobilnya sendiri! Jika saja di luar sedang tidak hujan, aku sudah berlari keluar. Jika saja aku sedang tidak menggunakan tas baruku, meskipun hujan, aku akan tetap berlari keluar. Idiot, kali ini kamu kumaafkan karena tas baruku. Kamu beruntung.

Akhirnya sampai juga. Aku hanya mengatakan "Terimakasih", dan sebenarnya hanya itu yang aku katakan padanya selama satu jam terakhir. Tanpa menawarkannya untuk mampir, aku menutup pintu mobilnya dan berjalan masuk ke rumah. Tanpa menoleh ke belakang. Ibu yang membukakan pintu tadinya akan menyapa Dika, tapi tentu saja kularang. Aku tidak ingin menimbulkan kesan yang aneh-aneh. Oh ya, namanya Dika, mantanku itu.

Seperti yang sudah kuprediksi, Ibu menceramahiku tentang bagaimana seorang perempuan seharusnya bersikap. Ah, omong kosong. Yang sebenarnya Ibu lakukan adalah, mengajariku bagaimana seharusnya aku memperlakukan Dika. Ibu bilang, putus bukan berarti berhenti berteman. Ingin sekali rasanya aku menjelaskan, Dika tidak pernah bisa diajak berteman. Dia tidak menginginkannya, dia hanya menginginkanku sebagai pacar. Dan itu permintaan yang terlalu besar. Aku hanya tersenyum pada Ibu, lalu permisi ke kamar.

Di luar masih hujan, dan aku benci hujan. Tapi aku suka air. Kontradiktif? Mungkin, tapi siapa yang peduli. Aku mengganti seragam, mengenakan pakaian renangku dan segera menenggelamkan diri ke dasar kolam renang. Aku butuh ketenangan.  Lima puluh detik. Rekor yang buruk. Aku segera menarik nafas dalam-dalam dan kembali duduk di dasar kolam. Jantungku berdetak lebih cepat, efek yang normal. Aku suka bagaimana kedalaman air menimbulkan efek-efek tertentu terhadapku. 

Enam puluh dua detik. Lumayan juga. Lalu kulihat Ibu berdiri di tepi kolam, menungguku. "Ayo cepat mandi nduk, Bapak mau makan di luar", aku mengangguk. "Oh ya, untuk acara hari Sabtu,  tolong jangan lupa undang Dika...", aku menunduk. Ibu menekankan kata tolong dan aku tahu tidak ada hal lain yang bisa kulakukan kecuali menurutinya. Aku harus mengundang Dika ke acara perayaan ulang tahun pernikahan orang tuaku.

BlackBerry-ku berdenting ketika makanan pembuka disajikan pelayan.

PING!!! 
Jangan lupa istirahat ya, tadi kelihatannya kamu capek banget. Love you

Apa kubilang? Dika jelas tidak menginginkan pertemanan denganku. 

Sunday, May 9, 2010

Menggunting Besi

Aditya Darun Suryana
---


"Aih Dit, masih aja lo kepikiran sama Nadia? Jelas-jelas dia yang ninggalin lo..." celoteh Rama dengan nada bicaranya yang tinggi, seolah dia ingin betul aku ikut dengan gaya pikirnya. "Ram, kalo aja dia ninggalin gw dengan kesan yang buruk, mungkin gw bakal cepet lupanya, tapi dia ninggalin gw dengan ngobrol baik-baik... Dia bilang suatu hari nanti kita mungkin bisa nyoba lagi, Ram," aku terus meyakinkan Rama.

Menyedihkan memang, mungkin aku jauh lebih tahu betapa klisenya perkataan Nadia waktu itu, dan aku tahu betapa tidak mungkinnya dia akan kembali sebagai orang yang sama seperti dulu. Tapi dia begitu lain dari yang lain... Kepalaku terus menggumam nih, masih pagi gini aku sudah keracunan cinta. Memang norak sih, tapi ya, tadinya aku sudah baik-baik saja. Mungkin karena aku bicara dengan Rama kali, ya. Rama emang brengsek, nggak bisa diandelin buat cerita. Apa mungkin memang asumsiku yang berlebihan?

Gila ya, pagi-pagi kepala udah mumet diisi pikiran tentang dia. Sekarang aku duduk di kelas dengan manis, dihiasi dengan guru Fisika yang rada nyentrik. Di sepanjang kelas aku seperti lampu yang korslet, kadang aku melamun memperhatikan pelajaran, kadang pikiranku entah kemana. Mengambang rasanya, seperti ikan yang kehilangan bobotnya di permukaan air. Aku sudah kelas tiga pula, mau jadi apa aku ini? Harus konsentrasi! Hiyat.

Suara surga datang, bel istirahat berbunyi akhirnya. Aku bergegas lari ke kantin, aku butuh mengistirahatkan kepalaku yang isinya setengah fisika dan setengah cinta. Astaga mengapa aku jadi lenje begini? Tapi fakta yang terkuak di hidupku empat hari ini, adalah aku entah mengapa begitu menikmati kesendirianku, begitu menikmati lamunanku. Tatapanku yang biasanya ke depan, sekarang lebih sering ke atas, atas, dan atas. Sepertinya sudah saatnya aku berdoa.


"Dit, ke warung yuk, cari rokok" seperti biasa Rama nggak betah kalo mulutnya nggak disumpel sama sesuatu. "Ntar ah, gw kan udah berhenti... Sejak Nadia nyuruh gw berhenti, mana dia ngomongnya pas mau putus--Ah, gila lo Ram, setiap ngomong sama lo, bawaannya jadi galau tau nggak?". "Wah, sakit jiwa lo Dit, yowes gw cabut duluan ye, cepet sembuh gila lo!" Rama akhirnya cabut, entah dia mau nyari rokok apa dia mau pulang, gila tuh orang emang.

Pintu neraka terbuka, sehabis ini aku ada ulangan Matematika tentang integral volume, udah kemarin ancur nggak karuan tentang integral awal. Sekarang aku mesti bergulat dengan rasa kantuk, lapar karena lupa makan barusan, dan gejala migrain karena melihat tanda-tanda adanya guru Matematika sudah mulai melangkah.

Syukurlah, teman sebangkuku lumayan. Aku keluar dari kelas dengan kepala pusing, langkahku berat. Aku kangen Nadia yang biasanya suka SMS atau telepon tiga menit gaya andalannya: Dimana? Lagi apa? Kamu nggak apa-apa kan? Terus nanti kemana? Oh.......... Meskipun menyebalkan, aku begitu menyukainya. Betapa naif pikiranku dulu, jodoh itu bisa dibuat, dan dengan cinta saja semuanya cukup. Padahal aku termasuk orang yang konservatif untuk urusan wanita. Apalagi aku sudah terlalu banyak disibukkan dengan kegiatan disana-sini, mungkin hanya Nadia yang mengerti aku. Hitungan enam bulan tidak sebentar bagiku.

Untung aku bawa buku-buku yang bisa dibaca di kelas, pelajaran terakhir ini kan cuma bimbingan konseling. Eh, tunggu sebentar, rasanyanya ada SMS. "Dit, udah pulang dari sekolah?" kepalaku pusing, dan Nadia berhasil membuatku tambah pusing dengan pesan singkatnya. Aku tak tahu harus berharap, berpikir, ataupun menghapus pesannya. Dari buku yang aku baca sih, orang membutuhkan kesempatan kedua, tapi jangan pernah berikan mereka yang ketiga.


Kalau kuingat-ingat waktu itu, dia memang wanita yang jarang melakukan kesalahan selama denganku. Bahkan aku yang sering membuatnya mengamuk gara-gara sering nggak nepatin janji. Tapi after all, mungkin sekarang bukanlah waktu yang pas untuk memperbaiki semuanya. Lagipula feeling-ku mengatakan tidak. Untuk saat ini.

Dan baguslah matahari sudah condong ke arah barat, sekolah sudah mau selesai. Kepalaku bisa bernafas kembali setelah terpancing memikirkan semuanya dari awal. Tapi akhir tiada pernah jadi akhir. Aduh, aku baru ingat ada buku yang mau aku beli. 


Semoga dengan tidak membalas pesannya membuat kepalaku lebih ringan.